Artikel

Pintar Saja Tidak Cukup
Jumat, 23 Agustus 2024 by Administrator(Oleh: Syamsiah, S.T). Sejak kecil, kita telah terbentuk menjadi makhluk persaingan. Bahkan ini telah menjadi hal yang lazim dalam dunia pendidikan kita. Kita dituntut untuk menjadi juara dalam nilai-nilai sekolah.
Dalam peradaban umat manusia, persaingan dan saling mengalahkan dianggap lumrah. Yang bisa menjatuhkan lawan dianggap sebagai pemenang. Menang dengan mengalahkan sudah menjadi tabiat yang terbentuk bahkan sejak dahulu kala. Hal ini bahkan dilegalkan dengan banyaknya perlombaan mulai dari tingkat wilayah, nasional, bahkan internasional.
Mengikuti dan memenangi berbagai perlombaan bukanlah hal yang salah jika hanya sebagai ajang untuk mengasah bakat. Namun, terbiasa menjadi pemenang dalam segala hal dapat membentuk mental yang kurang baik. Orang-orang ini biasanya tidak bisa menerima kekalahannya. Tak jarang, segala cara digunakan untuk menutupinya, termasuk menang dengan mencurangi lawan.
Dinamika kehidupan dengan segala perputaran dan pergilirannya membuat kita musti menyadari bahwa kehidupan ini pasti dipergilirkan. Namun, banyak orang yang sudah menikmati kemenangan-kemenangan hidup, tidak bisa menerima ketika dipergilirkan menjadi yang kalah. Lalu kemudian menggunakan segala cara untuk bisa terus mempertahankan kemenangannya. Seperti menjatuhkan orang lain dengan cara memberikan opini bahwa orang tersebut tidak bisa melakukannya. Kemudian diam-diam mengambil alih pekerjaan yang memang sudah diincarnya atau dirasa menguntungkannya.
Seperti roda kehidupan yang terus silih berganti, kalah-menang mustinya dianggap hal yang biasa, bukan kebanggaan atau pun aib. Justru dengan adanya kekalahan, kita dapat menyadari bahwa kita bukanlah makhluk sempurna. Tapi saling menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan adanya kekalahan, kita dapat menyadari hal-hal apa saja yang musti diperbaiki untuk ke depannya. Dengan adanya kekalahan, sikap mental kita pun menjadi kuat dan tangguh dalam menyikapi roda kehidupan.
SDM Unggul yang Sebenarnya
Belakangan, definisi unggul menjadi sempit hanya terbatas pada pencapaian nilai-nilai tadi. Sehingga kita menjadi manusia yang unggul dalam akademik dan pekerjaan. Namun tidak unggul dalam memperilakukan sesama. Padahal di sinilah letak keberhasilan seseorang. Keahlian dapat dipelajari. Tapi karakter yang mampu memanusiakan manusia musti dibentuk dalam waktu lama.
Sudah banyak terbukti bahwa keunggulan kognitif hanya melahirkan manusia minim empati. Dengan pekerjaan yang telalu banyak, emosi diri jadi tak bisa ditahan. Sehingga sering tanpa disadari malah diluapkan pada siapa saja yang ditemui. Ucapan pun menjadi ketus dan tidak enak didengar. Maksud hati mau terlihat unggul, malah membuat orang enggan berinteraksi dengannya. Aib-aib diri yang ingin ditutupi malah jadi semakin terlihat. Kalau orang-orang sudah enggan berinteraksi dengannya, maka akan sulit mendapat kepercayaan lebih. Sehingga karir pun sulit berkembang.
Banyak Tenaga Kerja Diganti Robot
Maka tak heran kalau belakangan ini sudah banyak tenaga kerja yang diganti dengan robot. Ini membuktikan bahwa kalau hanya butuh keahlian, maka robot pun bisa melakukannya. Bahkan robot mampu bekerja dengan baik dan lebih presisi tanpa disertai dengan keluhan, cercaan, dan umpatan. Di sini mustinya kita mau menyadari, keahlian tanpa karakter yang baik malah dapat diganti dengan robot. Akibatnya, pengurangan tenaga kerja terjadi di mana-mana.
Banyak pekerjaan praktis yang sudah diganti robot. Robot lebih mudah diperintah dan tidak menuntut banyak hal seperti kenaikan gaji dan fasilitas-fasilitas lainnya. Robot pun tidak suka mengumpat dan menyebarkan gosip di lingkungan kerja. Bukankah lingkungan kerja yang tenang tanpa kebisingan suara-suara sumbang jauh lebih dapat meningkatkan produktivitas kerja?
Mungkin, kalau kita mampu mengutamakan sikap kerja ketimbang sekedar keahlian, pengusaha pun akan berat mengganti kita dengan robot. Bahkan karakterisktik pekerja seperti ini banyak dibutuhkan di negara-negara maju. Negara-negara maju seperti Jepang dan negara-negara di Benua Eropa tak segan mengimpor tenaga kerja dari luar negaranya termasuk Indonesia untuk memenuhi tingginya kebutuhan tenaga kerja seperti ini. Kita bisa lihat dengan banyaknya suster dan perawat yang dibutuhkan di sana. Suster dan perawat mampu memberikan kehangatan pada pasien yang mereka rawat. Kemampuan seperti ini tidak ada pada robot.
Menjadi Manusia Unggul
Sebenarnya, apa saja sikap kerja yang mempu membedakan kita dengan robot? Sikap yang membuat kita jadi manusia unggul dalam arti yang sebenarnya. Sikap yang membuat kita menjadi unggul tanpa menjatuhkan. Manusia unggul mampu menghadapi berbagai karakter dan latar belakang orang-orang dalam tim. Bagaimana kita mampu menghormati sesama dan yang lebih tua atau lebih senior dari kita serta mampu menghargai yang sebaya dan lebih muda dari kita.
Kemudian, mampu bersikap dewasa dan bijak menghadapi setiap persoalan. Segala persoalan yang ada dihadapi dengan merangkul semua pihak yang ada dengan menurunkan ego. Ego membuat kita ingin terlihat paling pintar, selalu benar, dan tak mau disalahkan. Padahal adalah hal yang manusiawi jika kita melakukan kesalahan-kesalahan. Tinggal bagaimana kita memperbaikinya tanpa perlu merugikan pihak lain dan atau membuat orang lain jadi merasa tidak nyaman.
Ego membuat kita gemar menyalahkan orang lain dan bahkan mencari-cari kesalahan orang lain. Ego membuat kita tidak mau menyesuaikan diri dengan orang-orang sekitar tempat kita bekerja. Ego membuat kita seakan terlihat unggul tapi malah mencoreng nama baik diri sendiri karena telah menjatuhkan nama baik orang lain dengan mencari-cari kesalahan orang lain dan bahkan membuat-buatnya.
Penyakit ego sering dialami oleh mereka yang berpengalaman kerja lebih lama. Pengalaman yang lebih lama dan lebih banyak tidak membuatnya bijak dalam menghadapi berbagai persoalan. Tapi malah jadi kesempatan untuk menunjukkan diri sebagai si paling pintar dengan menjatuhkan rekan kerja lain yang masih terbilang baru di bidang itu.
Pengalaman yang lebih lama mustinya membuat kita tahu dan lebih empati menghadapi beragam jenis ketidaktahuan yang dialami para rekan kerja terutama mereka yang masih baru. Pengalaman yang lebih lama mustinya membuat seseorang sadar bahwa teguran, cercaan, dan makian seserang padanya sungguh tidak membuatnya nyaman. Bukan malah meneruskan hal itu ke orang lain yang baru bergabung di tim itu. Ini dapat jadi lingkaran setan kemarahan-kemarahan yang ada di lingkungan kerja. Maka jangan heran jika lingkaran setan itu pun kembali padanya.
Kita tidak bisa meminta orang-orang untuk berhenti berperilaku seperti itu. Tapi kitalah yang harus menghentikannya sendiri. Sehingga emosi itu berhenti di atasan atau rekan kerja kita dan tak berlanjut menjadi lingkaran setan energi negatif.
Menjadi Dewasa dan Bijak
Menjadi dewasa adalah mampu melihat persoalan dari beragam sudut pandang. Menjadi dewasa adalah mampu mengelola emosi sehingga tetap berkepala dingin dalam situasi apa pun. Menjadi dewasa adalah tidak terpengaruh oleh emosi orang-orang sekitar namun tetap bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Menjadi dewasa adalah mampu mengendalikan diri sehingga tidak mudah terpancing emosi.
Menjadi bijak adalah mampu lebih banyak mendengar ketimbang berbicara agar mampu membuat keputusan yang berpihak pada kebenaran dan kebersamaan. Tidak melulu ingin dirinya yang terlihat. Namun mampu memberikan kesempatan yang sama pada rekan kerja yang lain.
Menjadi bijak adalah mampu menghormati segala perbedaan yang ada. Dan mampu memberikan kesempatan pada perbedaan-perbedaan karakteristik itu. Keunikan diri yang dapat diaspirasikan dengan baik akan menjadi keunikan tim. Dengan itu, ritme kerja pun menjadi terasa indah, dinamis, dan penuh kreativitas.
Di sinilah jawaban, mengapa banyak orang pintar namun karirnya biasa saja? Karena kepintarannya hanya membuatnya menjadi manusia nirempati. Kepintaran hanya membuatnya merasa menjadi si paling benar. Sehingga tidak mau melihat kebenaran lain yang tersaji di hadapannya. Inilah yang membuat orang pintar sulit maju: tidak terbuka dengan beragam kebenaran yang tersaji di hadapannya. Karena di dunia kerja, kita berinteraksi dengan manusia, yang sama-sama punya rasa dan dapat merasa.